Poros Baru BRICS+ 2025: Ekspansi Global dan Pergeseran Kekuatan Ekonomi Dunia

Kebangkitan Blok Timur Baru

Tahun 2025 menandai perubahan besar dalam tatanan geopolitik dunia.
Di tengah ketegangan antara Barat dan Timur, muncul kekuatan baru yang menata ulang peta ekonomi global: BRICS+, aliansi ekonomi-politik yang kini beranggotakan lebih dari 12 negara.

Awalnya, BRICS hanya terdiri dari lima negara — Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Namun ekspansi besar-besaran yang dimulai sejak 2023 mengubahnya menjadi super-blok global yang menyaingi G7.

Dengan tambahan anggota seperti Arab Saudi, Iran, Indonesia, Mesir, Argentina, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab, BRICS+ kini mewakili:

  • 47% populasi dunia,

  • 38% GDP global (berdasarkan PPP), dan

  • 60% cadangan energi dunia.

Blok ini bukan hanya simbol ekonomi baru, tapi juga manifestasi dunia multipolar, di mana kekuatan tidak lagi berpusat di Barat.


Latar Belakang dan Evolusi BRICS ke BRICS+

Konsep BRICS diperkenalkan pada awal 2000-an oleh ekonom Jim O’Neill untuk menggambarkan potensi ekonomi negara berkembang.
Selama dua dekade, kelompok ini bertransformasi dari forum ekonomi menjadi platform geopolitik alternatif.

Namun titik balik terjadi pada KTT Johannesburg 2023, ketika negara-negara anggota sepakat untuk memperluas keanggotaan dan memperkuat pengaruh globalnya.
Ekspansi itu melahirkan istilah baru: BRICS+ (Plus).

Ekspansi ini didorong oleh dua faktor utama:

  1. Kekecewaan negara berkembang terhadap sistem global berbasis dolar dan dominasi Barat.

  2. Kebutuhan akan sistem perdagangan dan keuangan yang lebih inklusif.

BRICS+ kemudian mengembangkan inisiatif konkret seperti:

  • New Development Bank (NDB+) untuk pendanaan infrastruktur global.

  • PetroYuan Agreement — sistem perdagangan energi berbasis mata uang non-dolar.

  • Digital Payment Alliance untuk sistem pembayaran lintas negara dengan blockchain.

Kini, BRICS+ bukan hanya forum diplomatik — tapi alternatif nyata terhadap tatanan dunia lama.


BRICS+ dan Perang Mata Uang Global

Salah satu misi utama BRICS+ adalah mengurangi dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional.
Selama beberapa dekade, hampir semua transaksi global bergantung pada dolar — memberikan keunggulan politik dan ekonomi bagi Amerika Serikat.

Namun sejak 2024, BRICS+ mulai menggunakan BRICS Pay, sistem pembayaran lintas negara berbasis mata uang lokal dan digital token.
Arab Saudi, misalnya, kini menjual minyak ke Tiongkok menggunakan Yuan PetroContract, bukan lagi dolar.
Sementara Indonesia dan India melakukan perdagangan bilateral dengan mata uang rupiah-rupee digital.

Langkah ini secara perlahan menggeser struktur keuangan global.
IMF memperkirakan bahwa pada 2030, hanya 50% transaksi global akan menggunakan dolar — turun drastis dari 88% pada 2020.

Bagi negara berkembang, ini berarti kemandirian ekonomi dan politik.
Namun bagi Barat, ini dianggap sebagai ancaman terhadap sistem keuangan internasional berbasis dolar.

“Perang mata uang global sudah dimulai, tapi kali ini tanpa peluru,” tulis The Economist dalam edisi Juni 2025.


Ekspansi Strategis: Siapa Bergabung, Siapa Menunggu?

Ekspansi BRICS+ terus berlanjut di 2025.
Setelah masuknya Arab Saudi, Iran, dan Indonesia, kini beberapa negara lain sedang dalam proses negosiasi, termasuk Turki, Nigeria, Thailand, dan Venezuela.

Jika semua bergabung, BRICS+ akan mencakup lebih dari 70% cadangan energi dunia dan hampir setengah populasi global.

Namun ekspansi ini tidak tanpa tantangan.
Perbedaan kepentingan antara anggota lama dan baru menimbulkan dinamika internal yang kompleks.
Misalnya, India cenderung berhati-hati terhadap pengaruh Tiongkok yang semakin besar, sementara Arab Saudi dan Iran membawa rivalitas regional ke dalam meja BRICS+.

Untuk menjaga keseimbangan, BRICS+ kini menerapkan model baru:
“Flexible Multilateralism” — di mana negara anggota dapat berpartisipasi selektif dalam proyek sesuai kepentingan nasionalnya.

Pendekatan ini menjadikan BRICS+ lebih dinamis dibandingkan organisasi tradisional seperti G20 atau WTO.


Indonesia: Jembatan Baru di Poros Global

Kehadiran Indonesia dalam BRICS+ pada 2025 membawa pengaruh signifikan bagi Asia Tenggara.
Sebagai ekonomi terbesar di kawasan, Indonesia memainkan peran strategis sebagai jembatan antara Asia Timur dan dunia Islam.

Dengan kekuatan diplomasi bebas-aktif, Indonesia berperan sebagai mediator dalam isu-isu global seperti perdagangan hijau, energi bersih, dan keamanan pangan.
Pemerintah Indonesia juga memperkenalkan inisiatif “BRICS+ Green Archipelago” — kerjasama energi terbarukan antara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Selain itu, Bank Pembangunan BRICS (NDB+) telah menyetujui pendanaan proyek infrastruktur senilai $12 miliar di Indonesia, termasuk jaringan transportasi hijau dan pusat riset AI nasional.

Keikutsertaan Indonesia tidak hanya memperkuat ekonomi, tetapi juga menempatkan Jakarta sebagai salah satu ibu kota diplomasi global abad ke-21.


Konfrontasi Halus dengan Barat

Ekspansi BRICS+ membuat hubungan dengan Barat semakin kompleks.
AS dan Uni Eropa memandang blok ini sebagai tantangan langsung terhadap dominasi ekonomi mereka.

Washington menuding BRICS+ mencoba menciptakan “shadow financial order” yang bisa mengacaukan pasar global.
Namun para pemimpin BRICS+ menolak tuduhan itu, menyebut bahwa tujuan utama mereka adalah keseimbangan, bukan konfrontasi.

Presiden Tiongkok Xi Jinping bahkan menyatakan dalam KTT BRICS+ Beijing 2025:

“Kami tidak menentang siapa pun. Kami hanya menolak sistem yang tidak adil bagi banyak negara.”

Meskipun begitu, ketegangan ekonomi tetap meningkat.
Barat menanggapi dengan memperkuat G7 dan meluncurkan Global Partnership for Infrastructure (GPI) senilai $600 miliar untuk menyaingi proyek BRICS+.

Dunia kini benar-benar berada di ambang bipolaritas baru — bukan antara ideologi, tapi antara dua sistem ekonomi global.


Energi dan Sumber Daya Alam: Kekuatan Utama BRICS+

Salah satu alasan BRICS+ menjadi kekuatan besar adalah dominasi mereka atas sumber daya alam dunia.
Blok ini kini mengontrol:

  • 70% cadangan minyak global (melalui Arab Saudi, Iran, Rusia, dan UEA),

  • 60% produksi pertanian global (Brasil, India, Indonesia),

  • dan 80% bahan mentah untuk baterai EV (Tiongkok, Afrika Selatan, Kongo).

Dengan kombinasi energi dan industri, BRICS+ membentuk sistem ekonomi yang saling menopang:
energi dari Timur Tengah, manufaktur dari Asia, dan pangan dari Amerika Selatan.

Blok ini juga berambisi menciptakan “Energy Security Belt 2030” — jaringan energi lintas benua dengan sistem digitalisasi pasokan berbasis blockchain.

Jika proyek ini berhasil, maka BRICS+ akan menguasai arus energi global, menggantikan pengaruh OPEC dan G7.


Perang Data dan Teknologi: Babak Baru Persaingan Global

Selain ekonomi dan energi, BRICS+ juga mulai bersaing di bidang teknologi dan data.
Tiongkok, India, dan Rusia menjadi motor utama pengembangan AI dan infrastruktur digital independen dari Barat.

Pada 2025, BRICS+ meluncurkan “EurasiaNet”, jaringan internet alternatif berbasis satelit yang beroperasi di bawah protokol independen, bebas dari dominasi perusahaan Silicon Valley.
Jaringan ini diklaim lebih aman, cepat, dan tidak tunduk pada sensor politik luar negeri.

Selain itu, BRICS+ memperkenalkan mata uang digital terdesentralisasi bernama BRICS Coin, yang digunakan untuk transaksi lintas negara.
Dengan sistem blockchain internal, BRICS Coin diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi digital multipolar.

Langkah ini menandai lahirnya dunia baru — di mana data, bukan senjata, menjadi alat kekuasaan global.


Dampak Global: Dari Ekonomi hingga Diplomasi

Kebangkitan BRICS+ membawa efek domino ke seluruh dunia.
Negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan kini memiliki opsi baru selain bergantung pada Barat.

Beberapa efek nyata dari ekspansi BRICS+ 2025:

  1. Diversifikasi investasi global. Negara berkembang kini bisa memilih pendanaan dari NDB+ dengan bunga rendah.

  2. Reformasi diplomasi global. Suara Selatan Global kini lebih kuat di PBB dan lembaga internasional.

  3. Keseimbangan geopolitik. Ketegangan AS–Tiongkok kini menjadi persaingan sistem, bukan perang langsung.

Bagi banyak negara kecil, BRICS+ adalah harapan baru untuk keluar dari dependency trap ekonomi global.
Namun bagi Barat, ini adalah tantangan eksistensial terhadap struktur kekuasaan yang telah berdiri selama hampir satu abad.


Kritik dan Tantangan Internal BRICS+

Meski tampak solid, BRICS+ menghadapi tantangan internal yang serius:

  • Ketimpangan ekonomi. Tiongkok mendominasi lebih dari 65% GDP blok, menciptakan ketidakseimbangan pengaruh.

  • Rivalitas regional. India dan Tiongkok bersaing dalam isu perbatasan dan kepentingan Indo-Pasifik.

  • Kapasitas kelembagaan. Tidak semua anggota memiliki infrastruktur birokrasi yang mampu menjalankan kebijakan multinasional kompleks.

Selain itu, BRICS+ juga dikritik karena kurangnya standar demokrasi dan hak asasi manusia di beberapa negara anggotanya.
Para analis menilai bahwa keberhasilan jangka panjang blok ini akan tergantung pada kemampuannya menjaga inklusivitas dan transparansi.

Jika tidak, BRICS+ bisa bernasib seperti organisasi regional sebelumnya — kuat di awal, tapi rapuh dalam implementasi.


Kesimpulan: Dunia Multipolar Telah Tiba

Poros baru BRICS+ 2025 bukan sekadar ekspansi organisasi, melainkan pergeseran paradigma global.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, negara-negara berkembang memimpin percakapan ekonomi dunia.

Dominasi tunggal Barat kini digantikan oleh sistem multipolar yang lebih kompleks, dinamis, dan saling tergantung.
Dengan kekuatan ekonomi, energi, dan teknologi yang saling melengkapi, BRICS+ menjadi simbol masa depan global yang tidak lagi dikendalikan dari satu pusat kekuasaan.

Namun keberhasilan sejatinya akan bergantung pada satu hal:
apakah blok ini mampu menyeimbangkan kepentingan nasional dengan visi global.

Jika iya, maka sejarah akan mencatat tahun 2025 sebagai awal era baru dunia —
bukan lagi “East vs West”, tetapi “All Directions Rise Together.”


Referensi: