Coretan Tuntutan dan Umpatan di Tembok DPR Sudah Ditimpa Cat Putih Pagi Ini
Awalnya – Coretan Tembok DPR yang Bikin Heboh
bukanberita.com – Pagi ini, netizen dikejutkan dengan kabar bahwa coretan tuntutan dan umpatan massa aksi di tembok DPR sudah dilapisi cat putih kembali. Coretan yang tadinya jadi media protes dan ekspresi kemarahan massa aksi kini telah disamarkan, seolah menghapus jejak kritik yang tersurat. Fenomena ini menyeruak ke publik karena menunjukkan ambivalensi antara kebebasan menyuarakan aspirasi dan estetika publik.
Padahal, coretan–yang sempat viral kemarin—berisi kritik pedas seperti “Rakyat menderita, pejabat joget-joget” dan “Indonesia Sold”, yang tergores di tembok kompleks DPR. Aksi visual itu adalah bentuk kemarahan publik terhadap elit politik dan kebijakan dewan legislatif. Namun, pagi ini tembok itu tampak kembali bersih—tuntutan sulit terbaca, ideologi seolah dibungkam.
Saat tembok itu sempat dipenuhi cat dan kalimat provokatif, banyak warga melewati area Senayan mengabadikannya. Foto-foto coretan mendadak trending, jadi bukti bahwa rakyat bisa berbicara lewat dinding. Tapi kini, prosesi penimpa cat jadi simbol pemulihan, sekaligus tanda dicabutnya ruang publik untuk protes visual.
Siapa yang Bertindak — Cat Putih Sebagai ‘Pembersih Simbolik’?
Langkah menimpa cat putih ini dilakukan oleh petugas kebersihan atau otoritas terkait di kawasan DPR—baik itu TNI-POLRI, pengelola kompleks DPR, atau Dinas Kebersihan. Meskipun belum ada keterangan resmi siapa pihak yang melakukan pengecatan, tindakan tersebut jelas jadi sinyal bahwa kritikan massa ditindak secara literal, yakni dihapus dari pandangan umum.
Cat putih yang menyembunyikan coretan bukan sekadar estetika; itu jadi simbol kontrol atas ekspresi publik. Kendati begitu, beberapa pihak bisa melihatnya sebagai langkah praktis mengembalikan citra urban yang bersih—apalagi DPR adalah simbol negara—namun diunggah pula komentar publik yang menilai hal ini menutup suara rakyat.
Saat ini, belum ada klarifikasi kapan tepatnya pengecatan itu dilakukan—apakah dini hari sebelum lalu lintas padat atau setelah demo bubar. Tindakan kilat ini menunjukkan urgensi membersihkan daripada memberi waktu ruang bagi kritik tetap meradang.
Reaksi Publik — Pembaca Korak vs. Penghapus Protes
Reaksi publik cenderung terbagi dua: sebagian merasa lega karena tembok kembali bersih; sebagian lain justru marah karena kritik rakyat dibungkam secara visual begitu cepat. Di media sosial, beberapa komentar pedas mencuit: “Suara rakyat tertulis, tapi pagi ini langsung dihapus. DPR takut apa ya?” atau “Tembok difoto demi bukti, sekarang ceritanya bersih kembali.”
Aspirasi lewat coretan, menurut publik, bukan semata vandalisme—tapi bentuk kritik simbolik, ruang terbuka yang dibayar lewat pajak. Oleh karena itu, menghapus jejak visual itu persis seperti membungkam protes.
Namun ada juga yang menyejukan suasana, menilai pemerintah hanya menjaga estetika kota. “Daripada dipandang buruk, diperbaiki lebih baik,” kata warganet. Meski demikian, banyak yang memanggil agar kritik tetap diproses melalui jalur resmi: petisi, audiensi, atau saluran partai—bukan hanya lewat dinding yang cepat ditimpa paintbrush putih.
Konteks Sejarah — Vandalisme DPR Dalam Aksi Protes
Sejarah menunjukkan bahwa coretan di tembok DPR bukan perkara baru. Saat demo tolak omnibus law atau RUU TNI, coretan seperti “Tolak Omnibus Law,” “Orba 2.0,” hingga “RIP DPR RI” banyak menghiasi pagar dan tiang monorel di sekitar DPR.
Lebih ekstrem, demo mahasiswa 2019 pernah meninggalkan grafiti kontroversial bergambar simbol kemaluan yang mencoreng pagar DPR—tanda protes yang brutal sekaligus satir.
Kemudian, respons dari beberapa pelajar dan mahasiswa pasca-demo tak hanya kritik, tetapi juga aksi positif: gotong royong membersihkan tembok yang dicorat-coret agar nilai estetika publik kota kembali pulih.
Ini jadi bukti bahwa ruang protes adalah ruang cair—bisa ekspresif secara visual tapi juga bisa direhabilitasi secara estetika.
Penutup — Antara Kebebasan Kritik dan Estetika Publik
Coretan tuntutan dan umpatan di tembok DPR yang pagi ini ditimpa cat putih mengingatkan kita bahwa ekspresi publik tak selalu mendapat waktu lama untuk bertengger. Jadi, bagaimana idealnya ruang kritik visual itu diperlakukan?
Rangkuman:
-
Coretan di tembok DPR sempat jadi ekspresi spontan rakyat terhadap kebijakan dan elite.
-
Cat putih pagi ini jadi simbol penghapusan visual aspirasi—segera dan efektif.
-
Publik mempertanyakan apakah tindakan pembersihan ini meredam kritik atau menjaga estetika kota.
-
Sejarah aset visual semacam ini mengingatkan bahwa ada sisi protes dan sisi penghapusan—keduanya legit jika timenya sesuai.
Rekomendasi:
-
Otoritas bisa melakukan tindakan pembersihan, tapi jelaskan waktu dan alasannya transparan.
-
Sediakan media alternatif untuk aspirasi publik—misalnya papan digital atau mural resmi yang bisa jadi forum kritik.
-
Publik perlu menyuarakan aspirasi secara sahih, sambil usahakan kritik visual juga bisa punya ‘hari tayang’ sebelum dibersihkan.