Prabowo Sentil Tantiem BUMN Akal-akalan, Ini Penjelasan Berdasarkan Aturan

Prabowo Sentil Tantiem BUMN Akal-akalan, Ini Penjelasan Berdasarkan Aturan

Kritik Prabowo soal Tantiem BUMN — “Akal-akalannya”
Dalam pidato Nota Keuangan dan RUU APBN 2026 di DPR, Presiden Prabowo Subianto secara tegas menyentil praktik pemberian tantiem kepada komisaris BUMN:

“Masa ada komisaris yang rapat sebulan sekali, tantiemnya Rp 40 miliar setahun? Itu akal-akalannya mereka saja… istilah asing supaya kita tidak ngerti apa itu tantiem.”

Dengan tegas, Prabowo meminta agar mereka yang tidak setuju kebijakan ini untuk mengundurkan diri dan menegaskan bahwa BUMN harus untung benar, jangan untung akal-akalan. Kritik ini sontak menarik perhatian publik karena mengarah pada praktik yang sudah lama menjadi sorotan, yakni pembagian bonus tahunan kepada pejabat tinggi BUMN tanpa dasar kontribusi yang jelas.

Isu ini muncul karena banyak kasus di mana komisaris yang hanya menghadiri rapat beberapa kali setahun tetap mendapatkan bonus miliaran rupiah. Hal itu dinilai jauh dari semangat efisiensi dan profesionalitas dalam mengelola perusahaan negara.

Pernyataan ini dinilai sebagai sinyal kuat dari Presiden bahwa ke depan akan ada reformasi total dalam struktur dan skema insentif BUMN. Fokusnya bukan cuma pada keuntungan finansial, tapi pada transparansi dan efektivitas kinerja.

Definisi Tantiem dan Aturan Resmi yang Berlaku


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Permen BUMN No. 02 Tahun 2009, tantiem adalah bagian keuntungan perusahaan yang diberikan sebagai penghargaan kinerja tahunan. Pemberian ini mencakup direksi, dewan komisaris, dan pengawas, tetapi hanya jika perusahaan mencetak keuntungan dan kinerja baik.

Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa tantiem diberikan bila kinerja dan kesehatan perusahaan minimal 70%. Bahkan, besarannya pun dibatasi: Direktur Utama bisa menerima maksimal 100% dari total tantiem, komisaris utama 40%, dan komisaris lainnya lebih rendah lagi.

Ini menunjukkan bahwa secara aturan, tantiem bukanlah pelanggaran, tetapi harus diberikan berdasarkan evaluasi objektif. Sayangnya, dalam praktiknya, skema ini kerap dimanfaatkan secara tidak proporsional, sehingga terkesan hanya jadi ajang “bagi-bagi” keuntungan internal.

Dengan sorotan dari Prabowo, muncul desakan agar evaluasi dilakukan menyeluruh pada perusahaan-perusahaan BUMN, terutama dalam hal tata kelola dan reward system-nya. Banyak pihak juga mengusulkan agar evaluasi dilakukan oleh lembaga independen agar hasilnya objektif dan tidak sarat konflik kepentingan.

Aturan Danantara & Praktik Global — Larangan untuk Komisaris
Untuk menjawab kritik publik dan arahan Presiden, Danantara (Badan Pengelola Investasi / BPI) menerbitkan Surat Edaran No. S-063/DI-BP/VII/2025. Dalam aturan ini disebutkan bahwa komisaris BUMN dan anak usaha tidak lagi diperkenankan menerima tantiem, insentif kinerja, atau penghasilan lain yang berbasis keuntungan perusahaan.

CEO Danantara, Rosan Roeslani, menjelaskan bahwa kebijakan ini akan menghemat pengeluaran negara hingga Rp 8 triliun per tahun. Jumlah ini cukup besar untuk dialihkan ke program-program publik atau peningkatan modal kerja BUMN yang benar-benar produktif.

Menariknya, kebijakan ini selaras dengan praktik di banyak negara maju. Di Eropa misalnya, komisaris bukanlah eksekutor bisnis melainkan pengawas. Karena itu, mereka tidak mendapatkan bonus atau tantiem seperti jajaran direksi.

Dengan kebijakan baru ini, pemerintah berharap bisa membangun kembali kepercayaan publik terhadap BUMN. Apalagi selama ini masyarakat sudah sangat sensitif terhadap pengeluaran negara yang dianggap tidak produktif atau sarat kepentingan elite.

Konteks dan Implikasi Kebijakan bagi Reformasi BUMN
Presiden Prabowo juga menyinggung soal aset BUMN yang disebut telah mencapai USD 1.000 triliun. Dalam hitungannya, seharusnya BUMN mampu menyumbang keuntungan bersih minimal USD 50 miliar per tahun agar bisa menambal defisit APBN dan memperkuat anggaran negara.

Karena itu, ia tak hanya menyoroti tantiem, tapi juga struktur internal BUMN secara keseluruhan. Salah satunya dengan memangkas jumlah komisaris menjadi maksimal 6 orang, idealnya cukup 4–5 orang. Tujuannya jelas: efisiensi dan efektivitas.

Langkah ini mendapat dukungan dari beberapa pihak di DPR, seperti Ketua DPR Puan Maharani, yang menyebutkan bahwa reformasi BUMN adalah langkah tepat untuk menjaga keberlanjutan fiskal negara. Ia juga menambahkan bahwa skema insentif perlu dievaluasi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan ketimpangan dalam struktur penghasilan pejabat publik.

Selain itu, penghapusan tantiem juga akan mendorong para komisaris dan direksi BUMN untuk lebih berorientasi pada kualitas kerja, bukan hanya posisi. Ini juga bisa mengurangi potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang selama ini membayangi banyak perusahaan milik negara.

Penutup


Pernyataan Prabowo soal “tantiem akal-akalan” bukan hanya retorika, tapi cerminan komitmen pemerintah untuk merombak tata kelola BUMN secara serius. Aturan Permen BUMN 2009 memang mengizinkan tantiem, tapi Danantara sudah mengambil langkah lebih tegas dengan melarangnya bagi komisaris.

Langkah ini diharapkan bisa jadi pemicu perubahan kultur dalam tubuh BUMN. Dari yang semula berorientasi “jabatan = bonus”, menuju sistem yang berbasis kontribusi nyata dan akuntabilitas. Kalau ini dijalankan konsisten, bukan tidak mungkin ke depan BUMN bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang kuat dan dipercaya rakyat.